Fiqih : Bay'i (jual beli)


A.   Definisi Bay’i
§  Jual beli (البيع) secara bahasa merupakan masdar dari kata بعت diucapkanيبيع-باء bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الباع karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untukmengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعا ن
§  Secara istilah syari’at    : Pertukaran harta dengan harta yang lain walaupun dalam tanggungan dengan tujuan kepemilikan atau dengan manfaat yang mubah, bukan sewa ataupun pegadaian, bukan riba bukan pula hutang piutang.
§  Penjelasan definisi     :
(menukar harta) yang dimaksud dengan harta disini adalah setiap benda yang mubah dimanfaatkan bukan dalam keadaan hajat seperti emas, perak, gandum, kurma, garam, kendaraan, bejana, harta diam dan lain-lain.
(walaupun dalam tanggungan) maknanya bahwa ‘aqad terkadang terjadi dengan sesuatu yang tertentu dan terkadang dengan sesuatu yang dalam tanggungan. Contoh bila engkau berkata :” Aku beli bukumu dengan bukuku ini “. Ini dengan sesuatu tertentu. Tapi bila engkau berkata :” Aku beli bukumu dengan harga sepuluh ribu “. Maka ini dengan sesuatu dalam tanggungan. Masuk pula dalam definisi ini menjual sesuatu dalam tanggungan dengan sesuatu dalam tanggungan seperti engkau berkata :” Aku beli gula satu kilo dengan harga sepuluh ribu “. Lalu si pedagang pergi untuk menakar gula, dan engkau mengambil uang dari saku dan membayarnya.
(atau dengan manfaat yang mubah) maknanya atau menukar harta dengan manfaat yang mubah, seperti membeli manfaat jalan setapak milik orang lain untuk lalu lalang. Keluar dari definisi ini manfaat yang haram seperti alat alat musik dan sebagainya.
(bukan riba bukan pula hutang piutang) karena keduanya tidak disebut jual beli walaupun terdapat padanya menukar harta.

B.    Dalil Bay’i
1. Al-Qur’an
·         Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)
·         Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)
·         Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual beli”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
2. Al-Hadits
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)

C.    Syarat Bay’i
1. syarat-syarat terjadinya akad untuk pelaku jual beli :
a.Jaiz attashorruf yaitu yang memenuhi empat syarat : merdeka, baligh, berakal dan rosyid.
b.memiliki barang yang ia jual atau yang menggantikannya (wakil, washiy, nadzir dan wali. Syarah mumti’ 144-145).
c.saling ridlo antara penjual dan pembeli.
2. syarat-syarat untuk barang yang diperjual belikan :
a. barangnya harus ada terlihat, dan jelas sifatnya.
b. mampu diserahkan.
c. boleh dimanfaatkan selain darurat.
d. barangnya sudah di qobdl bila membeli dari orang kedua.
e.  barangnya kosong dari hak orang lain
3. syarat syarat lainnya :
a. harganya jelas dan diketahui.
b. bebas dari penghalang keabsahan yaitu
- adanya ghoror baik ghoror sifat maupun ghoror wujud.
- adanya paksaan.
- waktunya terbatas.
- adanya syarat-syarat yang merusak jual beli.
- adanya riba.
- adanya larangan baik yang kembali kepada dzat jual beli atau syaratnya.
c. menjadi lazim bila kosong dari khiyar

D.   Rukun Bay’i
1. Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sahsebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan(keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ada ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkanijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani, Subul al-Salam, hal. 4).
2. Orang-orang yang berakad (subjek) - البيعا ن
Ada 2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’.
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar pengganti barang ini yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).

E.    Transaksi yang Diharamkan
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
a. Jual beli orang gila
b. Jual beli anak kecil  (Q.S. An Nisaa' 4 : 6)
c. Jual beli orang buta
d. Jual beli terpaksa
e. Jual beli fudhulà Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.
2. Terlarang Sebab Shighat
a.    Jual beli mu’athahà Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul.
b.    Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
c.     Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
a.    Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
b.    Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
c.    Jual beli gharar àJual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
d.    Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
e.    h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
4. Terlarang Sebab Syara’
a.    Jual beli riba
b.    Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
c.    Jual beli anggur untuk dijadikan khamr

F.    Contoh aplikasi Ghoror di Jaman Modern dan Jahiliyah

1. Jual-beli al-hashah (بيع الحصاة)
Larangannya berdasar pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhua dalam Shahih Muslim yang berbunyi,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ 
Dari Abu Hurairah-semoga Allah meridhainya–, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli gharar.”

Para ulama rahimahumullah memberikan contoh jual-beli ini:

Seseorang memberi batu kepada temannya dan menyatakan, “Lemparlah batu ini pada tanahku! Sejauh mana lemparan batu tersebut dari tanah, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan pembayaran sekian dirham darimu.” Apabila lemparannya kuat, maka pembeli beruntung dan penjual merugi. Bila lemparannya lemah, maka sebaliknya (si pembeli rugi dan si penjual yang untung).

2. Jual-beli mulamasah dan munabadzah (
الملامسة والمنابذة)

Jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah jual-beli yang dilarang pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) yang berbunyi,

أن النبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَة 
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli mulamasah dan munabadzah.”

Jual-beli mulamasah adalah jual-beli dengan bentuk seorang menyatakan kepada temannya, “Pakaian apa pun yang sudah kamu pegang, maka ia milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” Oleh karena itu, bila ia memegang pakaian yang mahal, maka ia beruntung dan bila ia memegang pakaian yang murahan, maka ia merugi.

Adapun jual-beli munabadzah terjadi dengan menyatakan, “Ambil batu ini, lalu lemparkan kepada pakaian-pakaian tersebut! Pakaian yang terkena lemparan tersebut akan menjadi milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.”

3. Jual-beli calon anak dari janin yang dikandung (
بيع حبل الحبلة)

Larangannya terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,

أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَل الحَبَلة 
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli calon anak dari janin yang dikandung.”

Jual-beli habalul habalah yang merupakan menjual hasil produksi yang masih belum jelas termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam melarangnya. Letak unsur gharar dalam jual-beli habalul habalah ini jelas sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang dia beli, dan bisa juga tidak.

Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang jual-beli habalul habalah, yakni sejenis jual-beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. Pada jual beli tersebut, seseorang membeli seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan unta tersebut juga lahir pula (secara berantai).

4. Jual-beli buah sebelum tampak kepantasannya untuk layak dikonsumsi (
بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا

Jual-beli ini terlarang dalam hadits yang berbunyi,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا 
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah (layak dikonsumsi).” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hal tersebut disebabkan adanya kemungkinan rusak dan gagalnya hasil panen buah tersebut sebelum pembeli dapat memanfaatkannya.

5. Asuransi

Asuransi (ta’min) adalah satu transaksi yang tidak pernah ada di zaman dahulu. Asuransi didefinisikan sebagai sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha, perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Ahli fikih kontemporer bersilang pendapat dalam permasalahan ini. Ada yang memperbolehkan, dan ini sedikit jumlahnya. Mereka menyatakan bahwa yang dikeluarkan seseorang itu kecil sekali dibandingkan dengan yang akan didapatkannya, dan itu berarti al-gharar yang kecil. Namun bila dilihat pada jumlah orang yang ikut serta, dan keuntungan yang didapat perusahaan perasuransian, gharar yang terdapat dalam transaksi ini jelas besar sekali. Demikianlah, para ahli fikih melihat sesuatu itu bukan kepada seorang individu manusia saja, namun kepada perlindungan seluruh manusia, karena keberadaan syariat adalah untuk menjaga harta manusia. Oleh karena itu, Lajnah Daimah lil uhuts al-‘Ilmiyah wal-Ifta (Komite Tetap dalam Riset Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia) dalam ketetapan no. 55 tanggal 4/4/1397 H menetapkan ketidakbolehan asuransi seperti ini, karena termasuk akad pertukaran harta yang mengandung gharar besar dan termasuk jenis al-qimar (perjudian).