Mahasiswa, Apa Kabar Ruhiyahmu?


Hiruk pikuk perkuliahan menjadi santapan sehari-hari para mahasiswa. Tugas dari dosen dengan deadline tak rasional terkadang, ujian, rapat organisasi, deadline proyek karya, dan sebagainya. Kita disibukkan dengan segala sesuatu yang mencakup dua hal: akademis dan organisasi, dalam rangka meniti karir berharap mendapatkan pekerjaan yang pantas saat lulus nanti. Tapi apa kabar dengan ruhiyah kita?

Terkadang kita lupa dengan hal satu ini. Acara-acara himpunan dan ukm yang seringnya ramai didatangi orang, tak sebanding dengan acara-acara yang diadakan LDJ maupun LDK yang terkadang sepi. Bukankah populasi terbesar mahasiswanya adalah beragama Islam? Apakah kita terlalu sibuk dengan organisasi dan akademis kita? Mungkin kebanyakan kita hanya bisa terbawa arus. ‘Membebek’ dengan apa yang kebanyakan orang lakukan. Contoh jika semua orang di dunia ini merokok, hampir dapat dipastikan kita juga akan ikut merokok. Jika semua orang melakukan keburukan, hampir dapat dipastikan, kita tak berani untuk melakukan hal sebaliknya, kebajikan. Karena itulah budaya yang sudah mengakar di keseharian kita. Terbiasa dengan hal yang tak semestinya dibiasakan, hanya karena sudah turun-temurun dilakukan.
Kita hidup pada zaman dimana orang baik dikucilkan, orang alim dijauhi, orang menolong dianggap pencitraan, orang menasehati dianggap sok pintar, wanita berhijab lebar disangka teroris, orang memanjangkan jenggot di-cap ekstrimis, orang membaca al Qur’an di tempat umum dianggap sok suci. Tidak kah kita menyadari bahwa agama kita, Islam telah mencapai masanya menjadi agama yang kembali terasingkan? Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa jarak beliau hidup dengan kiamat hanyalah sejauh dua jari. Dan merupakan salah satu tanda kiamat jika agama kita ini menjadi agama yang asing. Seperti sabda Rasulullah SAW,  
 بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ 
“Islam awalnya asing dan kelak akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya maka beruntunglah bagi al-Ghuraba' (orang-orang yang asing).” (HR Muslim no. 145)
bersumberkan daripada Abu Hurairah radhiallahu'anhu.
Kita semua paham betul bahwa setelah kehidupan singkat di dunia ini, kehidupan selanjutnya yang abadi menunggu kita. Kehidupan dunia ini adalah episode terpendek dari fase-fase kehidupan yang lain. Namun kehidupan dunia ini pula yang paling menentukan kehidupan abadi kita kelak. Sudah sepatutnya kita berlomba-lomba mengumpulkan bekal dalam episode singkat ini. Buruk di dunia, keburukan menunggu kita di akhirat. Sebaliknya jika baik di dunia, syurga-Nya lah yang akan menyambut kita kelak. Sangat sederhana bagaimana kita hidup di dunia ini, tinggal memilih satu diantara dua jalan. Kebaikan atau keburukan. Jangan sampai ketika nyawa sudah di tenggorokan, kita baru menyesali semua kehidupan kita selama ini, merasa belum cukup mengumpulkan bekal untuk menghadap-Nya. Tapi mengapa susah sekali kita melakukan kebaikan, padahal kita sadar ini adalah episode terpendek? Sudah yakinkah kita kelak terlindungi dari panasnya api neraka, pedihnya siksa kubur, padahal tak ada satupun yang menjamin?
Akademis memang menjadi prioritas utama kita. Itulah tujuan awal kita menjajaki dunia kampus. Itu juga amanah orangtua yang dititipkan kepada kita. Organisasi tak kalah penting. Tempat dimana kita belajar apa yang tidak kita dapat di bangku-bangku kelas. Tempat melatih manajemen diri, belajar menjadi pemimpin sejati, kerjasama tim, dan softskill untuk diaplikasikan di dunia kerja nanti. Tapi di atas semua itu, sudah fitrahnya bagi kita untuk melandaskan semuanya dengan ruhiyah yang kuat, ibadah yang mantab. Bagaimana mungkin kita mencari ilmu tanpa mendekati Sang Pemilik Ilmu? Bagaimana kita hendak mendapat rezeki tanpa mendekati Yang Maha Kaya?
Peradaban yang maju dimulai dari ruhiyah yang penuh terisi. Dengan memulai untuk memperbaiki ruhiyah kita, kita kembali ke fitrah kita sebagai manusia, dengan orientasi utama hidup di kita untuk akhirat. Islam adalah agama yang sebenar - benarnya agama. Dengannya,  tak perlu ada keraguan, kesedihan, kekecewaan, kegalauan. Biarlah petunjuk ayat-ayat suci, sunnah-sunnah Nabi, yang menuntun kita untuk bagaimana sejatinya menjalani hidup ini.
Semua hal besar berawal dari diri sendiri. Kesadaran diri merupakan hal kecil yang akan membawa perubahan besar nanti. Mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil, dan mulai dari diri sendiri. Perlahan tapi pasti, marilah mulai saat ini kita meningkatkan kapasitas diri, kualitas ruhiyah kita, mengisi hati kita. Jangan biarkan hati-hati ini kering akan nikmatnya siraman ruhiyah. Dengan hati yang penuh terisi, kesuksesan organisasi dan akademis pun akan mengikuti. Ruhiyah yang tercukupi, itulah bekal utama untuk membangun negeri.
Wallahu a’lam bishawab.